Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Penataan Materi Scope dan Sequence

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pendidikan adalah proses dimana masyarakat melalui lembaga-lembaga pendidikan  (sekolah, perguruan tinggi, atau lembaga-lembaga lain), dengan sengaja mentransformasikan warisan budayanya, yaitu pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan-keterampilan, dari generasi ke generasi.Semakin berkembang peradaban manusia, semakin berkembang pula permasalahan yang dihadapi pendidikan, sehingga semakin menuntut kemajuan manusia dalam pemikiran-pemikiran yang sistematik tentang pendidikan.
Hal tersebut tentu saja menyebabkan pembentukan kurikulum yang ada dalam pembelajaran untuk peserta didik harus menyesuaikankepada  peserta didik dan kemajuan manusia dalam pemikiran-pemikiran yang sistematis.
Namun, apa yang ada di sekitar para pengajar masih banyak yang belum mengetahui atau memahami tentang pembentukan kurikulum yang sesuai dengan peserta didik mereka. Oleh karena itu makalah ini akan membahas tentang “Menentukan Scope dan Sequence dalam Pembinaan Kurikulum” agar kita para pengajar mengerti kurikulum yang bagaimana yang akan kita berikan kepada peserta didik.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Scope dan Sequence?
2.      Bagaimana cara menentukan Scope dalam kurikulum?
3.      Bagaimana cara menentukan kriteria bahan pelajaran?
4.      Prosedur apa saja yang menentukan bahan pelajaran?
5.      Bagaimana cara menentukan sequence dalam kurikulum?


C.    Tujuan
1.      Mengetahui pengertian pelajaran dan bahan pelajaran.
2.      Mengetahui cara menentukan Scope dalam kurikulum.
3.      Memahami cara menentukan kriteria bahan pelajaran.
4.      Mengetahui prosedur yang menentukan bahan pelajaran.
5.      Mengetahui cara menentukan sequence dalam kurikulum.


BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Scope dan Sequence

Scope yaitu ruang lingkup keseluruhan pengelaman belajar yang akan diberikan kepada siswa yang sudah berbentuk bidang studi, misal bidang studi IPA untuk SMP (biologi) yang diperinci menjadi pokok bahasan dan sub pokok bahasan yang mengandung ruang lingkup bahannya sendiri. Untuk mendapat bahan yang lebih jelas dapat diperoleh dari buku, buku paket atau sumber pokok dari pelajaran
Sequence atau urutan yaitu susunan bahan pelajaran atau pengalaman belajar menurut aturan tertentu secara berurutan. Ukuran ini disusun sedemikian rupa sehingga bahan yang disajikan untuk kelas 2 berbeda, untuk kelas 3 dan seterusnya. Lebih jelas lagi bahwa setiap bahan disusun secara sistematis itu mempunyai Horizontal antar bidang studi satu dengan yang lainnya, sedangkan secara vertikal hubungan itu menunjukkan itu bahwa yang ada kelanjutannya untuk lebih didalami ditingkat berikutnya. Bahkan pengalaman-pengalaman belajar yang disusun itu harus memberi jenjang kemudahan pada anak-anak untuk dianalisis selama proses belajar berlangsung.[1]
Scope merupakan pemilihan pengalaman belajar yang bersifat melintang/ meluas (latitudinal axis) dan memikirkan “what” dari kurikulum, yang menurut curriculum planning ttepat untuk merealisasikan tujuan pendidikan. Sedangkan sequence mempersoalkan “when” di dalam perencanaan kurikulum.
William B. Ragan mendiskripsikan secara umum bahwa scope ditentukan kegiatan-kegiatan dasar yang dikerjakan orang, nilai-nilai dalam masyarakat, dan masalah-masalah utama yang nampak.[2]

B.     Menentukan Scope dalam Kurikulum

Dalam menentukan scope, yaitu apa yang harus diajarkan merupakan masalah yang semakin sulit seiring berjalannya waktu. Beberapa penyebabnya antara lain :
1.      Bahan pelajaran cepat bertambah luas karena eksplosi ilmu pengetahuan. Spesialisasi dalam pendidikan semakin meluas dan tiap spesialisasi memerlukan bahan pelajaran tambahan. Selain itu, waktu belajar terbatas demikian pula kemampuan anak untuk menguasai bahan pelajaran.
2.      Belum ada kriteria yang pasti tentang bahan apa yang perlu diajarkan. Juga belum ada cara tentang mengorganisasi kurikulum yang dapat diterima oleh semua.
3.      Matapelajaran yang tradisional tidak lagi memadai. Timbul pula tujuan baru seperti berpikir kritis dan kreatif, memahami lingkungan social dan memahami dunia internasional.
Matapelajaran baru ditambahkan sedangkan matapelajaran lama masih disampaikan sehingga beban belajar anak bertambah berat dan membuat pengetahuan anak tersebut dangkal tentang aneka ragam bidang.[3]

Bahan Pelajaran

Bahan pelajaran (subject matter) terdiri atas pengetahuan, nilai-nilai, dan keterampilan.Pengetahuan manusia disusun oleh para ahli dalam sejumlah kategori yang disebut disiplin ilmu.Penyusunannya dilakukan secara rasional, logis, sistematis sehingga menjadi suatu system yang bulat.
Disiplin ilmu banyak digunakan sebagai dasar penyusunan kurikulum yang berbentuk matapelajaran seperti fisika, biologi, sejarah, dan sebagainya. Kurikulum semacam ini mempunyai organisasi yang logis dan sering tidak ada kaitannya dengan pengalaman anak dalam hidupnya sehingga apa yang dipelajari anak sering hanya hafalan kata-kata tanpa makna dan karena itu tidak memperkaya pribadinya.
Kurikulum yang dianggap lebih bermakna ialah bila bahan pelajaran didasarkan atas pengalaman anak dalam kehidupannya sehari-hari.Dalam hal ini pengetahuan dari disiplin ilmu itu dipakai secara fungsional untuk memahami suatu masalah.Setelah anak mencapai tingkat perkembangan tertentu, maka mereka dapat mempelajari disiplin ilmu itu sebagai matapelajaran.Organisasi bahan seperti ini disebut psikologis karena memperhitungkan minat dan tingkat perkembangan jiwa anak.
Yang dijadikan bahan kurikulum bukan hanya isi disiplin ilmu berupa pengetahuan, melainkan juga prosesnya. Anak-anak harus dengan sengaja diajarkan proses berpikir kritis, proses penemuan, proses pemecahan masalah, dan sebagainya. Aspek proses ini masih kurang mendapat perhatian. Beberapa matapelajaran yang dianggap perlu oleh semua warga negara yaitu membaca, menulis, dan berhitung.Selanjutnya ada matapelajaran yang diwajibkan bagi semua siswa seperti bahasa nasional, pendidikan kewarganegaraan, sejarah nasional, dll.Matapelajaran ini termasuk pendidikan umum. Tujuannya ialah agar semua wargaNegara mempunyai dasar pemikiran yang sama untuk menjamin kebutuhan negara.
Pengetahuan umum juga diartikan sebagai pendidikan yang luas, yang memberikan pengetahuan tetang segala macam hal.Menyusun kurikulum untuk pendidikan umum jauh lebih sulit karena sukarnya mengadakan pilihan dari bahan yang terlalu banyak.Selain pendidikan yang bersifat umum, kurikulum juga menyediakan pelajaran pelajaran yang memberikan pendidikan khusus yang tidak diharuskan bagi semua pelajar.Pendidikan khusus ini dapat mengenai pendidikan kejuruan atau vokasional dapat pula member pendalaman bidang studi tertentu.
Subject matter atau bahan matapelajaran dipilih dari persediaan yang sangat luas yang dapat disajikan kepada anak-anak untuk dipelajari.Pilihan itu harus dilakukan karena luasnya bahan yang ada sedangkan waktu untuk mempelajarinya terbatas.Untuk itu diperlukan kriteria dalam memilih bahan agar lebih rasional.[4]

C.    Kriteria Penentuan Bahan Pelajaran

Ada sejumlah kriteria yang digunakan untuk memilih bahan pelajaran, namun setiap kriteria ini mempunyai kelemahan. Kriteria tersebut antara lain :
1.      Bahan pelajaran harus dipilih berdasarkan tujuan yang hendak dicapai. Untuk tujuan khusus lebih mudah ditentukan bahan pelajarannya dan dapat segera dinilai keserasiannya. Namun untuk tujuan umum keadaannya lebih sulit. Belum ada alat yang dapat mengukur hasil-hasil pendidikan, apalagi yang mengenai kepribadian seseorang secara ilmiah.
2.      Bahan pelajaran dipilih karena dianggap berharga sebagai warisan generasi lampau. Namun belum tentu apa yang berguna pada masa yang lampau masih berguna pada zaman sekarang atau untuk masa mendatang. Pengetahuan, norma-norma, dan keterampilan masa lau harus selalu disesuaikan dengan keadaan baru agar tidak usang.
3.      Bahan pelajaran dipilih karena berguna untuk menguasai suatu disiplin. Kurikulum yang terlampau mementingkan bahan pelajaran disiplin tertentu dianggap kurang memenuhi kebutuhan pemuda dan kurang memperhatikan kebutuhan social dalam masyarakat modern yang dinamis.
4.      Bahan pelajaran yang dipilih karena dianggap berharga bagi manusia dalam hidupnya. Pendidikan harus relevan dengan kebutuhan masyarakat. Franklin Bobbitt menganalisis kegiatan-kegiatan orang dewasa dalam masyarakat agar kegiatan tersebut diajarkan kepada anak-anak. Namun apa yang baik sekarang belum tentu baik pula untuk masa depan. Kebutuhan dan sifat perkembangan anak kurang mendapat perhatian utama.
5.      Bahan pelajaran dipilih karena sesuai dengan kebutuhan dan minat anak. Kebutuhan menurut tafsiran orang dewasa, misalnya setiap anak harus belajar menulis, membaca, sejarah, dan sebagainya. Kebutuhan berdasarkan perkembangan anak, apa yang benar-benar dirasakan perlu.
Dalam memilih bahan pelajaran perlu kita perhatikan pendapat Hilda Taba yakni bahwa untuk mencapai suatu tujuan pendidikan kita tidak cukup hanya memperhatikan isi atau bahan pelajaran akan tetapi juga proses pelajaran atau pengalaman belajar. Ia berpendirian bahwa bahan pelajaran tidak boleh dipisahkan dari pengalaman belajar. Karena itu lebih baik pelajaran dipusatkan pada sejumlah pokok yang terbatas yang dapat mengembangkan keterampilan mental daripada berusaha meliputi sejumlah bahan yang aluas yang hanya dihafal secara mendangkal tetapi tidak mengembangkan kesanggupan mental itu.
Dalam penentuan bahan pelajaran para penyusun kurikulum dipengaruhi oleh aliran yang dianutnya. Mereka yang mengutamakan subject curriculumakan mementingkan bahan yang terkandung dalam disiplin. Penganut aliran “progresif” akan menetukan bahan pelajaran terutama berdasarkan minat anak atau pemuda. Mereka yang mengutamakan fungsi sosial sekolah mengambl aspek-aspek kehidupan sosial sebagai dasar untuk menentukan bahan pelajaran.Dalam pembinaan kurikulumhendaknya kita perhatikan semua faktor yang turut mempengaruhinya, yaitu faktor anak, masyarakat, maupun disiplin ilmu pengetahuan.

D.    Prosedur Menentukan Bahan Pelajaran

Cara yang dipilih banyak bergantung pada nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh mereka yang menentukan kurikulum.Serasi tidaknya bahan pelajaran bergantung pada tujuan yang ingin dicapai. Berikut ini beberapa prosedur yang diikuti dalam penentuan bahan pelajaran :
1.      Prosedur menerima otoritas para ahli
Lebih dahulu dirumuskan tujuan pendidikan agar dapat ditentukan bahan pelajaran yang kiranya paling serasi untuk mencapainya.Tujuan pendidikan dapat diselidiki berdasarkan undang-undang dan dokumen-dokumen resmi, dapat juga berdasarkan studi tentang sosiologi, politik, sejarah, dan sebagainya.Kemudian diadakan diskusi untuk merumuskan dengan jelas tujuan-tujuan pendidikan itu.
Dalam praktek sering yang menentukan bahan pelajaran ialah pengarang buku pelajaran.Prosedur ini banyak diikuti, karena banyak keuntungannya. Buku pelajaran mempunyai scope dan sequence tertentu, jadi telah jelas apa yang harus diajarkan dan bagaimana urutannya. Akan tetapi prosedur ini juga tidak membangkitkan kreativitas guru.
2.      Prosedur eksperimental
Bahan pelajaran dapat ditentukan secara eksperimental dengan mengadakan penelitian hingga manakah bahan itu memang serasi untuk mencapai sasarannya.Biasanya metode ini digunakan untuk menyelidiki keserasian bahan yang khusus untuk tujuan yang spesifik agar dapat dikuasai faktor-faktor yang mempengaruhi dan keilmiahannya dapat dipertahankan.
Untuk tujuan-tujuan yang lebih umum, metode ini kurang sesuai karena sulitnya menguasai semua faktor, termasuk pribadi guru dan pengalaman anak.Juga perlu dipikirkan, hingga manakah hasil penelitian sekarang berlaku untuk masa datang karena misalnya selera anak terhadap cerita-cerita tertentu dapat berubah karena perkembangan zaman.
3.      Prosedur ilmiah atau analitis
Bahan pelajaran dapat ditentukan dengan menganalisis situasi-situasi di mana bahan pelajaran itu diperlukan.Dapat dianalisis kegiatan manusia dewasa dalam kehidupannya sehari-hari, dapat pula dianalisis berbagai jabatan, misalnya jabatan jururawat, guru penerbang dan sebagainya.Dengan mengetahui kegiatan, ketrampilan, sikap, pengetahuan dan kompetensi-kompetensi yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan itu dengan baik, dapat pula ditentukan bahan pelajaran yang serasi untuk itu.
Analisis pekerjaan atau kegiatan dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain mengadakan wawancara tentang segala macam tugas seorang pekerja, melakukan pekerjaan itu sendiri, atau mengobservasi pekerja melakukan tugasnya.
Analisis memecahkan keseluruhan tugas dalam kegiatan-kegiatan yang lebih terinci, sehingga identitas keseluruhan lenyap.Yang dianalisis ialah keadaan sekarang yang tidak menunjukan keadaan seharusnya.Namun metode analisis ini sangat berfaedah untuk menentukan bahan pelajaran bagi tugas dan jabatan yang jelas dan terbatas unsure-unsurnya.
4.       Prosedur konsensus
Memperoleh konsensus dengan meminta pendapat orang-orang yang dianggap berwewenang, antara lain ahli-ahli dalam bidang studi tertentu, tokoh-tokoh masyarakat, perusahaan dan sebagainya.
Namun konsensus berdasarkan tabulasi dan suara terbanyak belum menjamin keserasian bahan pelajaran.Sesudah ditabulasi tidak lagi diadakan diskusi antara mereka yang mengisi daftar pertanyaan itu dan interpretasinya terserah pada para pengolahnya.
5.      Prosedur-prosedur lainnya
Prosedur-prosedur lain yakni (a) social functions procedure, (b) persistent life situation procedure dan (c) adolescent needs or problems procedure.[5]
(a)    Prosedur fungsi-fungsi sosial
Siswa merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat, untuk menjadi anggota masyarakat yang baik seorang siswa maupun melakukan proses penyesuaian diri (sosialization) atau proses masyarakat dimana dalam proses itu telebih dahulu harus mengenal, mempelajarai dan menyesuaikan tingah lakunya terhadap norma-norma sosial yang berlaku.[6]Fungsi-fungsi sosial itu seperti: perlindungan dan pengawetan hidup, milik, dan sumber alam, produksi, konsumsi, komunikasi dan transport, dan sebagainya adalah pokok-pokok sebagai pegangan untuk menentuka kegiatan-kegiatan belajar.
Kurikilum ini mengutamakan aspek sosial dan tidak begitu menonjolkan soal kebutuhan dan minat pelajar, sekalipun tidak mengabaikannya.
(b)   Prosedure “persistent life situations”
Prosedur ini memperhatikan kebutuhan, masalah dan minat anak dan pemuda menurut taraf perkembangan dalam dunia yang kompleks dan dinamis ini. Persistent yakni senantiasa pada hakikatnya sama, dulu, sekarang maupun di masa mendatang di mana saja di dunia ini, akan tetapi situasinya berbeda-beda dan berubah-ubah.
(c)    Prosedur kebutuhan atau masalah pemuda
Prosedur ini bertitik tolak dari kebutuhan pemuda atau masalah-masalah yang mereka hadapi.Prosedur ini diterapkan dalam “the Eight Year Study” yang mengadakan percobaan di 30 sekolah menengah di Amerika Serikat. Ross Mooney mengumpulkan 132 masalah pemuda yang digolongkannya dalam 11 bidang, yakni: (1) kesehatan dan perkembangan jasmani, (2) keuangan, kondisi hidup dan pekerjaan, (3) kegiatan sosial dan rekreasi, (4) berpacaran, sek dan perkawinan, (5) hubungan sosial-psikologis, (6) hubungan pribadi-psikologis, (7) moral dan agama, (8) rumah tangga dan keluarga, (9) masa depan: pekerjaan dan pendidikan, (10) penyesuaian dengan pelajaran sekolah, (11) kurikulum dan pengajaran.[7]
Kebutuhan tersebut harus diketahui oleh para pendidik atau guru dalam membimbingnya mudah untuk memberikan penyesuaian bagi anak-anak.[8]

E.     Menentukan Sequence Dalam Kurikulum

“Scope” mengenai apa yang akan diajarkan, yaitu ruang lingkup atau luas bahan pelajaran, jenis dan bentuk pengalaman-pengalaman belajar, pada berbagai tingkat perkembangan anak guna mencapai tujuan-tujuan pendidikan.
Dengan “sequence” dimaksud urutan pengalaman belajar itu diberikan. Sering ini diartikan sebagai kapan pengalaman belajar atau bahan pelajaran itu harus diberikan, atau disempitkan menjadi di kelas berapa bahan pelajaran tertentu harus diajarkan.
Scope dan sequence erat hubungannya dalam penyusunan kurikulum, oleh sebab tiap bahan harus diberikan pada waktu yang setepat-tepatnya.J Bruner mengatakan bahwa prinsip-prinsip tiap mata pelajaran dapat diajarkan kepada setiap orang pada setiap usaha dalam suatu bentuk tertentu oleh sebab ide-ide pokok yang mendasari setiap ilmu sebenarnya sederhana.J Piaget membuktikan bahwa anak-anak lebih cepat dapat berfikir secara formal daripada yang diduga semula.

Dua Pendekatan
Dalam penentuan urutan bahan pelajaran dapat diikuti dua macam pendekatan.
  1. Menentukan bahan pelajaran untuk kelas-kelas tertentu
Pendekatan ini yang dipentingkan ialah bahan pelajaran dan anak harus menyesuaikan diri dengan bahan pelajaran untuk kelasnya.
  1. Menyesuaikan bahan pelajaran dengan taraf perkembangan anak
Untuk itu perlu diselidiki tingkat pengetahuan dan kemampuan anak agar dapat ditentukan bahan yang sesuai.

Faktor-faktor dalam penempatan bahan pelajaran
  1. Taraf kesulitan bahan pelajaran
Pada umumnya bahan yang mudah dan sederhana lebih dahulu diberikan daripada yang sukar dan kompleks.Tak selalu mudah menentukan yang manakah yang mudah dan yang sukar.Namun bahan pelajaran memang mempunya tingkat-tingkat kesukaran.Makin banyak unsur yang terlibat dalam suatu masalah, makin kompleks problema itu makin tinggi taraf kesulitannya. Karena kenyataan itu maka dalam penempatan bahan pelajaran perlu dipertimbangkan taraf kesulitannya.[9]

  1. Apersepsi atau pengalaman lampau
Sesuatu yang baru hanya dapat di pahami berdasarkan pengetahuan atau pengalaman yang telah dimiliki. Karena itu diusahakan adanya kontinuitas dalam bahan pelajaran. Pelajaran yang lampau menjadi syarat untuk memahami pelajaran baru.
Dalam memperoleh pemahaman, individu belajar melalui pengalaman. Cara coba-coba untuk memperoleh pemahaman erupakan suatu yang penting, karena menghasilkan pengalaman yang dapat direorganisasi manakala menghadapi situasi yang sama.
Dalam mempelajari matematika misalnya, tidak hanya dilakukan dengan mempelajari jawaban soal, tetapi yang paling penting adalah mengalami proses memperoleh penyelesaian soal sehingga diperoleh pemahaman terhadap keberadaan soal itu dan mengapa penyelesaian atau jawabannya itu demikian.[10]
  1. Kematangan anak
Kematangan diakibatkan oleh perkembangan intern, pertumbuhan syarat atau fisiologis dan di anggap tak dapat di pengaruhi banyak oleh faktor-faktor luar.Dalam teori sering kita katakan bahwa bahan pelajaran harus disesuaikan dengan kematangan anak, tanpa sebenarnya mengetahuinya dengan jelas.
  1. Usia mental anak
Kita ketahui bahwa anak-anak berlainan kemampuan mentalnya. Memberikan bahan yang sama kepada anak yang tinggi dan rendah intelegensinya pasti merugikan anak, sehingga bahan pelajaran diberikan menurut sequence yang sesuai dengan kesanggupan anak.
  1. Minat anak
Minat anak menjadi faktor utama dalam penentuan bahan dan urutannya disekolah yang “child centered”.Dalam penempatan bahan pelajaran minat anak sudah sewajarnya perlu diperhatikan, apalagi minat yang timbul sebagai akibat perkembangan anak.Minat dapat timbul berdasarkan pengatahuan yang diperoleh dari pelajaran-pelajaran lampau.[11]
Beberapa hal dapat diusahakan untuk membangkitkan motif belajar pada anak yaitu pemilihan bahan pengajaran yang berarti bagi anak, menciptakan kegiatan belajar yang dapat membangkitkan dorongan untuk menemukan (discovery), menerjemahkan apa yang akan diajarkan dalam bentuk pikiran yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Sesuatu bahan pengajaran yang berarti bagi anak disajikan dalam bentuk yang sesuai dengan tingkat kemampuan berpikir anak, dan disampaikan dalam bentuk anak lebih aktif, anak banyak terlibat dalam proses belajar dapat membangkitkan motif belajar yang lebih berjangka panjang.[12]



BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Banyak hal dalam lingkungan peserta didik tanpa kita sadari merupakan bahan pelajaran dalam pembentukan kurikumlum, bukan hanya isi disiplin ilmu berupa pengetahuan, melainkan juga prosesnya. Anak-anak harus dengan sengaja diajarkan proses berpikir kritis, proses penemuan, proses pemecahan masalah, dan sebagainya.

Untuk mencapai suatu tujuan pendidikan kita tidak cukup hanya memperhatikan isi atau bahan pelajaran akan tetapi juga proses pelajaran atau pengalaman belajar. Dan cara yang dipilih untuk menentukan bahan pelajaran banyak bergantung pada nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh mereka yang menentukan kurikulum. Serasi tidaknya bahan pelajaran bergantung pada tujuan yang ingin dicapai.

B.     Saran

Dengan adanya prosedur-prosedur yang berlaku dalam hal pembentukan kurikulum diharapkan pembuat kurikulum membuat bahan ajar sesuai dengan kriteria yang telah dijelaskan tersebut  di atas. Sehingga terdapat keserasian antara kurikulum, peserta didik dan pengajar.




[1]Iskandar Wiryokusumo dan Usman Mulyadi, Dasar-dasar Pengembagan Kurikulum, Jakarta: Bina Aksara, 1988, h, 48.
[2]Hendayat soetopo dan Wasty soemanto, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum, Jakarta: PT Bumi Aksara, 1993, h. 75-76.
[3]S. Nasution, Asas-asas Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara, 1994, h. 230-231.
[4]Ibid; h. 231-233.
[5]Ibid; h. 237-240.
[6]Iskandar Wiryokusumo dan Usman Mulyadi, Dasar-dasar Pengembagan Kurikulum, Jakarta: Bina Aksara, 1988, h. 51.
[7]S. Nasution, Asas-asas Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara, 1994, h. 240-241
[8]Ibid; Iskandar Wiryokusumo dan Usman Mulyadi, h. 53.
[9]S. Nasution, Asas-asas Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara, 1994, h. 244-245.
[10]Muhammad Ali, Pengembangan Kurikulum Sekolah, Bandung: Sinar Baru, 1992, h. 41.
[11]Ibid;S. Nasution, h. 242-246.
[12]Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000, h. 146.

Posting Komentar untuk "Penataan Materi Scope dan Sequence"